Kewajiban orang yang berpuasa adalah menahan diri (dari makan, minum, dan segala pembatal puasa) sejak terbitnya fajar shadiq (fajar subuh) hingga terbenamnya matahari. Allah Ta’ala berfirman:
فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam …” (Q.s Al-Baqarah: 187)
Diriwayatkan Al-Bukhari (hadits no. 1919) dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Bilal mengumdanngakan adzan pada suatu malam. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumdanngakan adzan. Sesungguhnya dia tidaklah mengumdanngakan adzan hingga fajar terbit.”
Berdasarkan hal ini, barang siapa yang mengetahui terbitnya fajar shadiq (fajar subuh) dengan menyaksikan langsung atau melalui kabar dari orang lain, maka dia wajib meninggalkan makan minum. Barang siapa yang mendengar adzan maka dia wajib menahan diri ketika dia mendengarnya, jika muadzin melakukan adzan tepat waktu, bukan dimajukan.
Sebagian ulama mengecualikan: untuk kasus gelas masih berada di tangan seseorang ketika dia mendengar adzan, dia boleh minum sebatas kebutuhannya. Diriwayatkan Abu Daud (hadits no. 2350) dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu; dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
‘Jika seseorang di antara kalian telah mendengar panggilan (adzan, pen.) sedangkan bejana masih di genggaman tangannya maka janganlah dia letakkan bejana itu sampai dia menyelesaikan keperluannya.’ “Al-Albani berkomentar dalam Shahih Abu Daud, “Sanadnya hasan shahih. Al-Hakim, Adz-Dzahabi, dan ‘Abdul Haq Al-Isybili menilainya shahih. Ibnu Hazm menjadikan hadits ini sebagai dalil.”
Pada umumnya, muadzin saat ini mengacu pada jam dan jadwal waktu shalat, bukan atas pengamatan langsung terbitnya fajar. Hal tersebut tidak dianggap meyakinkan bahwa fajar benar-benar telah terbit. Karena itu, siapa yang makan saat itu maka puasanya sah karena dia belum yakin benar bahwa fajar telah terbit. Akan tetapi yang lebih utama dan lebih berhati-hati adalah dia menahan diri dari segala pembatal puasa ketika telah mendengar kumandang adzan.
Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanyai, “Apa hukum syar’i terkait puasa ketika mendengar kumandang adzan fajar sedangkan orang yang mendengarnya terus melanjutkan makan dan minumnya?
Beliau rahimahullah menjawab, “Wajib bagi seorang mukmin untuk menahan diri dari segala pembatal puasa –seperti makan dan minum– jika baginya telah jelas bahwa fajar telah terbit, dan puasa yang dia tunaikan adalah puasa wajib –seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar, dan puasa kaffarah. Dasarnya adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا
الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
‘Makan dan minumlah sampai telah jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam (tiba) (Q.s. Al-Baqarah: 187).’
Oleh karenanya, jika seseorang telah mendengar adzan dan dia yakin bahwa adzan itu dilakukan ketika terbit fajar maka wajib baginya untuk mulai puasa. Jika muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbitnya fajar, tidak wajib bagi seseorang untuk mulai puasa, serta dia boleh makan dan minum sampai terbitnya fajar jelas baginya.
Jika dia tidak tahu keadan muadzin, apakah si muadzin beradzan sebelum fajar atau setelahnya, maka yang lebih utama dan lebih hati-hati baginya adalah mulai puasa ketika dia mendengar adzan. Tidak apa-apa seandainya dia minum atau makan sesuatu ketika adzan mulai berkumandang karena dia belum mengetahui terbitnya fajar (ataukah tidak, pen.).
Telah diketahui bahwa siapa saja yang memasuki kota yang diterangi lampu listrik, niscaya tidak mampu untuk mengetahui terbitnya fajar menggunakan pengamatan matanya ketika fajar benar-benar telah terbit. Akan tetapi, wajib baginya berhati-hati dalam melakukan amal dengan memperhatikan adzan dan jadwal waktu shalat yang mencantumkan batasan waktu terbitnya fajar dengan jam dan detik. Kehati-hatian ini sebagai bentuk pengamalan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tinggalkanlah segala sesuatu yang meragukanmu menuju segala sesuatu yang tidak meragukanmu.’ Juga berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapa saja yang menjaga diri dari syubhat (kesamaran) maka dia telah menjaga agama dan kehormatannya.’ Hanya Allah yang mampu mengaruniakan taufik.” (Fatawa Ramadhan, dihimpun oleh Asyraf ‘Abdul Maqshud, hlm. 201)
“Syekh Ibnu ‘Utsaimin pernah ditanya, ‘Kapan seseorang wajib menahan diri dari makan? Apakah sebagaimana perkataan orang-orang, ‘Ketika muadzin bertahlil (mengucapkan la ilaha illallah)’? Bagaimana hukumnya jika seseorang sengaja minum setelah adzan berkumandang? Apakah dia dinilai seperti orang yang minum setelah waktu ashar atau dia terhitung tetap berpuasa pada waktunya? Alasan sebagian orang, ‘Fajar itu tidak sama dengan lampu yang terang tiba-tiba. Permasalahan ini cukup longgar.’ Bagaimana hukum perkataan semacam ini?’
Beliau rahimahullah menjawab, ‘Jika muadzin melakukan adzan ketika fajar telah tampak, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum beradzan. Dia tidak beradzan sampai fajar terbit.’ Karena itu, jika sang muadzin berkata, ‘Saya melihat fajar dan saya tidaklah beradzan hinggga saya benar-benar melihat fajar,’ maka wajib bagi semua orang untuk menahan (berpuasa) pada waktu mereka mendengar adzan, kecuali dalam kondisi yang menuntut dia mendapat rukhshah (keringanan), yaitu ketika di tangannya masih tergenggam gelas maka dia boleh menghabiskan makanan/minuman di tangannya itu. Akan tetapi, jika adzannya berdasarkan jadwal shalat, maka sejatinya jadwal shalat tidak terkait dengan waktu tanda alam yang bisa diindra, namun jadwal ini berdasarkan hisab. Dan jadwal shalat yang ada di tempat kita adalah jadwal shalat ummul qura, dan itu berdasarkan hisab. Karena mereka tidaklah melihat fajar, matahari, zawal (saat tergelincir matahari), tidak pula masuknya waktu asar, maupun terbenamnya matahari.” (Al-Liqa’ Asy-Syahri, 1:214)
Kesimpulan: hendaknya setiap orang segara menahan diri dari segala pembatal puasa ketika dia mendengar adzan, jika dia mengetahui bahwa muadzin mengumandangkan adzan tepat waktu. Jika dia sangsi akan hal tersebut, hendaknya dia hanya menghabiskan minuman yang ada di tangannnya. Karena tak mungkin disarankan, ‘Dia boleh terus melanjutkan makan dan minum sampai dia yakin fajar telah terbit.’ Dan realitanya dia tidak memiliki sarana untuk memastikan terbitnya fajar karena adanya cahaya lampu listrik. Selain itu, mayoritas orang tidak mampu membedakan antara fajar shadiq (fajar subuh) dan fajar kadzib (fajar palsu).
Wallahu a’lam.
Kutipan dari artikel http://muslimah.or.id
Sumber: http://islamqa.com/ar/ref/124608
diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Muslimah.or.id
2 komentar:
Terimakasih atas informasinya, semoga bermanfaat.
sama-sama.
Terima kasih telah mampir kesini
Posting Komentar
Jika tidak mempunyai account,
pada comment as silahkan pilih Anonymous
Mohon dengan bahasa yang sopan.
Terima Kasih.